Add Listing

Persimpangan Identitas Sosial: Diskriminasi Berlapis dalam Kekerasan Berbasis Gender


PERSIMPANGAN IDENTITAS SOSIAL: DISKRIMINASI BERLAPIS DALAM KEKERASAN BERBASIS GENDER

Ditulis oleh Yeremia Rey.


Apa saja hal yang mendefinisikan kita sebagai manusia? Apakah itu ras? Ekspresi gender? Atau bahkan kepercayaan kita? Semua faktor ini bersimpangan dan membentuk identitas diri seorang individu. Kita semua memiliki otonomi untuk mengidentifikasi diri kita. Tetapi, dengan adanya keberagaman identitas itu sendiri, apakah faktor-faktor yang membentuk identitas ini juga dapat menentukan nilai kita sebagai individu dalam sebuah struktur sosial?

Foto dari Pexels.


Konstruksi Sosial sebagai Basis Penolakan
Tentu saja jawaban dari pertanyaan ini bergantung pada konstruksi sosial yang dibentuk oleh suatu masyarakat, di mana masyarakat sendiri yang mendefinisikan dan menentukan hal apa saja yang membuat kita sebagai manusia. Berangkat dari teori ini, dapat dilihat bahwa masyarakat kemudian mengadopsi konstruksi sosial tersebut menjadi suatu norma yang dijadikan indikator-indikator penentu nilai seorang individu. Indikator ini kemudian dipakai sebagai basis pengelompokan individu berdasarkan identitas dan kemudian diintegrasikan dalam struktur sosial.


Tetapi berdasarkan konsep ekslusi sosial (social exclusion), norma dan nilai ini dapat berujung pada proses penolakan terhadap individu dengan dasar identitas sosialnya. Artinya, terjadi proses alienasi terhadap individu yang mengidentifikasi dirinya dengan identitas sosial minoritas yang tidak sejalan dengan norma hasil konstruksi masyarakat tersebut. Proses penolakan ini dapat berujung pada kesulitan individu untuk mengakses hak-hak dasarnya.


Interseksionalitas: Spektrum Keberagaman Identitas Sosial dan Relasi Dibaliknya

Penolakan atas dasar nilai dan norma dapat terealisasikan melalui beberapa bentuk, salah satunya adalah melalui diskriminasi sosial. Tidak hanya itu, individu-individu yang mengasosiasikan dirinya dengan lebih dari satu identitas minoritas juga dapat terkena diskriminasi berlapis. Dalam melihat fenomena ini, konsep interseksionalitas (intersectionality) dapat digunakan sebagai kacamata yang lebih inklusif terhadap kasus diskriminasi yang dialami oleh individu dengan identitas sosial minoritas.


Interseksionalitas melihat bahwa kombinasi antar identitas sosio-politik membentuk suatu spektrum diskriminasi dan privilese (Crenshaw, 1989). Identitas-identitas ini dapat didasari oleh beberapa faktor seperti ras, gender, kepercayaan, disabilitas, dan etnis. Konsep ini menolak memandang aspek-aspek diskriminasi sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, tetapi sebagai suatu aspek berlapis yang mempengaruhi penindasan terhadap kelompok identitas marginal.


Kekerasan Berbasis Gender sebagai Bentuk Diskriminasi

Diskriminasi berlapis ini dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja dalam spektrum identitas sosial minoritas. Salah satu produk dari diskriminasi berlapis adalah Kekerasan Berbasis Gender (KBG). Perempuan dan kelompok minoritas lain seringkali dianggap sebagai pribadi yang derajatnya dibawah laki-laki sehingga mereka lebih rentan terkena diskriminasi berlapis.

Indonesia sendiri juga tidak luput dari tindakan diskriminatif ini. Menurut data Komnas Perempuan dalam 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 792%. Tidak hanya itu, semenjak dimulainya pandemi COVID-19, tercatat bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan turut meningkat hingga 63%, di mana 59,82% dari kasusnya merupakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menjadikan perempuan dewasa sebagai korbannya (Amnesty 2021). Komnas Perempuan juga melaporkan adanya peningkatan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi 940 kasus pada tahun 2020, dibandingkan dengan 241 kasus saja pada tahun 2019. Jakarta Feminist juga pernah melakukan penelitian tentang situasi KBG di Indonesia selama pandemi COVID-19 dan menemukan bahwa sekitar 22% dari 315 responden melaporkan bahwa mereka menjadi korban kekerasan untuk pertama kalinya pada saat pandemi. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa urgensi KBG terus meningkat
dan perlu diberikan perhatian serta tindakan lebih lanjut dalam menangani KBG.


Kekerasan yang terus terjadi ini membuktikan bahwa hal ini bukan permasalahan tematik, tetapi merupakan permasalahan sistemik yang akan terus berulang jika akar masalah tidak diselesaikan secara menyeluruh dan tuntas. Dalam hal ini, diskriminasi berlapis dapat dilihat sebagai basis tindakan eksklusi yang menghalangi kelompok minoritas dalam mengakses hak-hak dasarnya.


Dengan adanya konstruksi sosial yang menetapkan nilai individu serta sistem opresif yang terintegrasi dengan konstruksi tersebut, orang-orang yang mendapatkan privilese atas dasar identitasnya mendapatkan kuasa lebih dari identitas minoritas lainnya. Hal ini yang menyebabkan juga terjadinya relasi kuasa sehingga diskriminasi berlapis terlanggengkan dalam masyarakat.


Diskriminasi Berlapis sebagai Problematika yang Nyata
Melalui kacamata interseksionalitas, KBG yang berasal dari diskriminasi berlapis tidak dapat dilihat sebagai faktor-faktor yang berdiri sendiri. KBG di sini merupakan suatu persimpangan antar faktor (identitas sosial) yang saling tumpang tindih juga. Korban KBG turut mendapatkan beberapa perlakuan tidak adil secara bersamaan, dan kemungkinan reviktimisasi akan tetap cukup tinggi jika kita hanya menangani kasus kekerasan tersebut dengan hanya fokus pada satu faktor saja. Buktinya, berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2021, banyak perempuan mengalami KBG atas dasar diskriminasi
berlapis, termasuk disabilitas, identitas gender dan orientasi seksual, dan status HIV/AIDS. Perempuan dengan HIV/AIDS, perempuan queer (misal, lesbian dan biseksual), dan perempuan transgender juga mengalami diskriminasi saat mengakses layanan publik dan bantuan. Adapula kasus KBG yang berbasis agama dan juga yang menjadikan anak berkebutuhan khusus sebagai korban juga masih dapat ditemui di Indonesia.


Ini membuktikan bahwa korban KBG seringkali tidak hanya mengalami tindak kekerasan atas dasar gendernya, melainkan juga bersimpangan dengan beberapa identitas sosial minoritas lain yang dimilikinya. Ketimpangan yang dialami oleh perempuan serta disabilitas misalnya juga akan berlipat ganda. Dalam menangani kasus kekerasan yang dialami para korban ini, diperlukan sudut pandang yang mempertimbangkan beberapa identitas minoritas sekaligus dan bagaimana identitas-identitas tersebut bersimpangan dan membentuk diskriminasi terhadap mereka.


Interseksionalitas dalam Kekerasan Berbasis Gender: Sebuah Refleksi Inklusif
Identitas seseorang didasari oleh beberapa faktor, dan konstruksi sosial masyarakat menetapkan nilai seorang individu berdasarkan identitas tersebut. Individu dapat mengidentifikasi dirinya dengan lebih dari satu identitas sosial, dan karena konstruksi sosial, ada identitas yang dikategorikan dalam spektrum identitasminoritasdimana terjadinya proses eksklusi terhadap identitas – identitas yang tidak sejalan dengan norma produk konstruksi tersebut. Maka individu-individu dengan identitas minoritas ini kemudian mengalami tindak penolakan dalam bentuk diskriminasi, dan individu yang memiliki beberapa identitas minoritas sekaligus dapat mengalami diskriminasi secara berlapis.


Salah satu bentuk diskriminasi ini adalah Kekerasan Berbasis Gender, dan kenyataannya adalah bahwa korban tidak hanya mengalami diskriminasi berdasarkan satu identitasnya saja, tetapi atas dasar semua identitas minoritasnya yang bersimpangan satu sama lain. Kombinasi identitas ini melahirkan kekerasan berlapis yang tidak dapat ditangani dengan melihat satu faktor saja.


Interseksionalitas dapat membantu melihat sekaligus menjadi sebuah jalan keluar bagi penanganan Kekerasan Berbasis Gender, di mana setiap identitas berlapis yang dimiliki korban tervalidasi dan dapat menawarkan penyelesaian struktural atas dasar persimpangan identitas tersebut.


Bibliography
Amnesty International. (2021). Amnestypedia. Hak Perempuan dan Kesetaraan Gender.
Tersedia dalam: https://www.amnesty.id/hak-perempuan-dan-kesetaraan-gender/
Berger, P.L. and Luckmann, T., (1966). The social construction of reality: A treatise in the
sociology of knowledge. Anchor.
Cooper, Brittney (2016). “Intersectionality“. In Disch, Lisa; Hawkesworth, Mary (eds.). The
Oxford Handbook of Feminist Theory. Oxford University Press. pp. 385–406.
doi:10.1093/oxfordhb/9780199328581.013.20. ISBN 978-0-19-932858-1.
Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, (2019).
ABK Kerap Alami Diskriminasi Berlapis. Tersedia dalam:
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2074/abk-kerap-alami-diskriminasiberlapis
Komnas Perempuan. (2021). Perempuan Dalam Himpitan Pandemi: Lonjakan Kekerasan
Seksual, Kekerasan Siber, Perkawinan Anak, Dan Keterbatasan Penanganan Ditengah Covid-
19. Catatan Tahunan.
Young, I.M., 2014. Five faces of oppression. Rethinking power, pp.174-195.
Zaqiah, Naila Rizqi, Walton, Kate, and Restuviani, Anindya Nastiti. (2021). Penelitian Situasi
KBG Selama Pandemi COVID-19. Perkumpulan Lintas Feminis Jakarta.

Prev Post
Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual Saat Bencana
Next Post
Kenapa Korban KDRT Sering Menarik Kembali Laporannya?

Add Comment

Your email is safe with us.

Skip to content