Add Listing

Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual Saat Bencana

KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN SEKSUAL SAAT BENCANA

Ditulis oleh Lia Amellya.

Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual

Kekerasan berbasis gender dan seksual (atau sering disingkat KBGS) menurut UNHCR (2011) mengacu pada setiap tindakan yang dilakukan di luar kehendak seseorang dan didasarkan pada norma-norma gender serta hubungan kekuasaan yang tidak setara. Kekerasan tersebut menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, mental atau seksual, ancaman, pemaksaan dan perampasan kemerdekaan lainnya, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. 

KBGS sering dikaitkan dengan ketidaksetaraan hubungan gender di masyarakat dan penyalahgunaan kekuasaan. Walaupun KBGS bisa dialami oleh siapa saja, perempuan dan anak perempuan sangat lebih rentan terhadapnya.

Bencana

Bencana adalah fenomena berbahaya pada kehidupan masyarakat yang melebihi kemampuan masyarakat dalam menghadapinya, sehingga menimbulkan kerugian berupa kehilangan jiwa, material, ekonomi, dan lingkungan (UNISDR 2009). 

Kita bisa menyimpulkan bahwa bencana terjadi ketika fenomena berbahaya bertemu dengan kerentanan atau kondisi yang tidak aman. Kerentanan dalam model kegentingan bencana dalam Oxfam (2012) berakar dari proses sosial, ekonomi, dan politik, kemudian berkembang dan menjadi tekanan di dalam masyarakat, lalu akhirnya menjadi kondisi yang tidak aman untuk masyarakat.

Orang berbeda mengalami dampak bencana yang berbeda

Bencana dapat dialami oleh siapapun. Namun, dampaknya akan berbeda sesuai dengan situasi dan kerentanan setiap orang. Semakin rentan seseorang, maka dampak yang dirasakan semakin besar. Salah satu contoh adalah orang lanjut usia (lansia), karena orang lansia akan lebih dirugikan ketika bencana karena keterbatasan fisik dan mental yang biasanya dia miliki. Orang lansia akan lebih sulit menyelamatkan diri dari bencana daripada orang paruh baya.

Kerentanan menurut analisis kebencanaan Oxfam (2012) terjadi ketika terdapat sebuah kondisi tidak aman karena adanya akar permasalahan yang kemudian menekan masyarakat secara dinamis. Isu gender merupakan salah satu akar permasalahan yang menimbulkan tekanan dinamis, seperti kesempatan mendapat pendidikan kebencanaan yang berbeda. Hal ini kemudian menimbulkan kondisi yang tidak aman ataupun setara, seperti bagaimana perempuan menjadi kelompok yang lebih berisiko ketika bencana karena kemampuan antisipasi, pencegahan, dan bertahan diri yang tidak memadai ketika menghadapi bencana. 

Sudah banyak bukti yang menunjukkan perempuan lebih rentan saat bencana. Studi UNDP (2010) menunjukkan bahwa perempuan dan anak memiliki risiko kematian saat bencana lebih tinggi 14 kali daripada laki-laki. Data Oxfam (2005) menunjukkan bahwa sebanyak 77% korban meninggal tsunami Aceh 2004 di Aceh Utara adalah perempuan, sementara 75% penyintas di Aceh Besar adalah laki-laki.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Laki-laki dalam kehidupan sehari-hari memiliki peran sosial yang cenderung mendominasi keluarga, sehingga kapasitas perempuan dikesampingkan. Ketidaksetaraan gender kemudian menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua yang dianggap lebih kompeten untuk kegiatan domestik (urusan rumah tangga). 

Dalam konteks darurat dan pasca bencana, kehilangan wilayah kelola dalam rumah tangga karena bencana merupakan hal yang sulit untuk perempuan. Kondisi tersebut seringkali mengakibatkan dampak psikologis dan fisik. Perempuan tak jarang menjadi tidak berdaya dan mulai ketergantungan kepada orang lain dalam situasi seperti ini karena relasi kuasa dan tidak adanya suara dalam pengambilan keputusan.

Setelah bencana, perempuan juga sering mengalami peningkatan beban kerja, serta tekanan kehidupan dalam upaya pemenuhan hak atas keamanan, kesehatan, dan kebutuhan dasar di situasi yang sulit. Ketidakberdayaan ekonomi pasca bencana menuntut perempuan untuk beradaptasi dengan memiliki beban berlipat, yaitu untuk bekerja di luar rumah, mengikuti kegiatan kemasyarakatan, dan sekaligus mengurus urusan domestik. Secara psikologis, perempuan tak jarang mengalami trauma karena bencana seperti rasa takut dan cemas yang akut, rasa sedih dan bersalah yang kronis, serta munculnya perasaan hampa.

Foto oleh Pok Rie.

Situasi Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual saat Bencana di Indonesia

Penerapan perspektif gender dalam kebencanaan telah diterapkan di berbagai negara dan Indonesia pun telah memiliki beberapa aturan terkait hal tersebut. Namun, pada praktiknya KBGS masih terjadi di beberapa bencana (Tabel 1). Perspektif gender dibutuhkan karena selain perempuan termasuk ke dalam kelompok rentan, perempuan juga memiliki kapasitas yang berarti dalam penanggulangan bencana di semua fase. 

Suara perempuan perlu didengar dan diapresiasi dengan dilibatkan secara aktif dalam forum atau kelompok kebencanaan. Hal ini bertujuan agar perempuan tidak pasif menerima program mitigasi yang direncanakan atau keputusan saat darurat dan pasca bencana, sehingga mampu meningkatkan rasa aman perempuan sebagai penyintas.

Tabel 1. Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual yang Terjadi Saat Bencana di Indonesia

NoDaerah bencanaJenis bencana alamTahun
1AcehTsunami2004
2YogyakartaErupsi Gunung Merapi2010
3Sumatera UtaraLetusan Gunung Sinabung2014
4LombokGempa bumi2018
5Sulawesi Tengah (Palu-Sigi-Donggala)Gempa bumi, tsunami, likuifaksi2018
6BantenTsunami2018
Jenis KBGS yang ditemukan di bencana-bencana tersebut: Trafficking; Percobaan perkosaan; Penyerangan seksual; Pelecehan seksual dengan hinaan; Pengucilan dan penganiayaan akibat stigmatisasi berbasis seksual perempuan; Aborsi paksa; Pemerkosaan; Pernikahan dini; dan Pengintipan saat mandi.

(Sumber : Milawaty, 2021)

KBGS di situasi bencana meningkat dibandingkan dengan situasi normal. Menurut True (2013), terdapat peningkatan 40% kekerasan dalam hubungan intim (intimate partner violence) setelah gempa Christchurch, Selandia Baru, yang terjadi pada tahun 2011. Peningkatan KBGS juga terjadi dua kali lipat di Sulawesi Tengah karena oleh dampak bencana alam di tahun 2018 yang belum pulih, kemudian dilanjutkan dengan adanya pandemi Covid-19 (Kumparan, 2021). Hal ini disebabkan oleh suasana kacau saat bencana membuat penyintas merasa tidak aman akan kelangsungan hidup dan hubungan serta tidak adanya kepastian ekonomi, kemudian melakukan pembenaran akan hal negatif. 

Berikut ini adalah contoh-contoh KBGS di situasi bencana :

  1. Perdagangan manusia (human trafficking) terjadi setelah Tsunami Aceh. Kondisi ini terjadi karena pada saat bencana banyak orang yang terpisah dengan keluarganya, dan di sisi lain sistem sosial tidak berjalan dengan baik karena suasana yang kacau. LBH Anak menurut Merdeka (2014) mendapat laporan terdapat 37 anak yang menghilang setelah tsunami Aceh, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur menurut BBC (2014) pernah membawa pulang ke Indonesia beberapa anak perempuan korban tsunami Aceh yang diperdagangkan.
  2. KBGS banyak terjadi di fasilitas pengungsian dan penghunian sementara karena konstruksinya yang tidak aman, seperti kamar mandi yang tidak tertutup rapat, gelap, jauh dari hunian, dan terisolasi. Tempo (2018) menginformasikan bahwa setelah gempa Lombok 2018, perempuan ketakutan untuk mengganti pakaian karena tidak memiliki tempat khusus, tinggal dengan banyak keluarga dalam satu tenda, ataupun sebelumnya juga telah ada laporan percobaan pemerkosaan. Selain dampak psikologis, kondisi tersebut berdampak ke kesehatan perempuan seperti gatal-gatal di area vital.
  3. KDRT juga banyak terjadi di situasi pasca bencana. Menurut laporan UNFPA (2019), korban bencana Palu-Sigi Donggala sebanyak 14% responden survei perempuan dewasa mengaku mengalami KDRT. Peristiwa tersebut dilandaskan oleh banyak hal, contohnya suami yang menganggap istri tidak setia, mencurigai istri sering pergi dan tidak patuh, dan menolak untuk melakukan hubungan seksual. Salah satu contohnya adalah korban KDRT di hunian sementara oleh suaminya karena permasalahan sepele yaitu pelaku tidak berkenan tidur dengan keadaan lampu menyala ketika maksud istri adalah menghormati kakaknya yang berkunjung, hingga akhirnya suami pindah ke rumah orang tuanya (Kompas, 2019). Maksud hati istri berkunjung ke rumah mertua, yang ia dapatkan justru penganiayaan karena suami merasa harga dirinya tercoreng.
  4. Kurangnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi penyintas juga meningkatkan terjadinya KBGS. Perempuan pada kondisi darurat mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, namun karena tidak memiliki pilihan lain, sering dimanfaatkan oleh pelaku kekerasan seksual dengan menjanjikan pemenuhan kebutuhan dasar. WHO (2021) baru-baru ini juga merilis laporan terkait tuduhan pelecehan seksual oleh petugas WHO dan warga lokal selama penanganan wabah ebola tahun 2018-2020 di Republik Kongo, sampai ada juga beberapa kasus penawaran pekerjaan oleh pelaku dengan imbalan seks.

Upaya Mengurangi Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual

Masyarakat masih memiliki pemahaman yang rendah terkait KBGS, sehingga kerentanan penyintas meningkat karena respon keluarga dan orang terdekat yang cenderung menyepelekan KBGS tidak serius atau sebagai aib yang harus ditutupi. Padahal KBGS memiliki dampak yang buruk bagi kesehatan penyintas. Dampak fisik yang muncul dapat berupa penyakit menular seks, disfungsi seksual, dan cedera genital. Sedangkan untuk dampak psikologis dapat berupa penyakit stres pasca trauma (post-traumatic stress disorder), keinginan menyakiti diri sendiri, gangguan tidur, kecanduan obat terlarang, dan lain lagi. Persepsi bahwa KBGS  adalah aib ataupun hal yang tidak serius menyebabkan banyak kasus yang tidak dilaporkan dan ditindaklanjuti.

KBGS dalam masa darurat dapat diminimalisir dengan beberapa upaya langsung di lapangan. Komunitas atau masyarakat perlu dilibatkan untuk upaya pencegahan KBGS dengan diberikan sosialisasi untuk mengakhiri nilai yang bias gender serta peningkatan kesadaran perempuan akan hak perempuan, kesehatan, dan KBGS. Peningkatan keamanan di berbagai tempat pengungsian perlu dilakukan untuk meningkatkan rasa aman perempuan, seperti patroli serta penerangan yang cukup. Selain itu, transparansi pengelolaan bantuan diperlukan juga agar kebutuhan yang penting dan khusu mampu terpenuhi.

Proses penanganan dan rehabilitasi penyintas bencana yang responsif gender perlu dilakukan, misalnya pembentukan ruang ramah perempuan dan anak. Wadah tersebut sangat bermanfaat untuk memfasilitasi informasi serta akses bantuan satu pintu yang aman untuk perempuan, sehingga kebutuhan perempuan dan anak dapat terorganisir dengan baik. Fasilitas tersebut kemudian akan membantu untuk bersolidaritas dalam rangka pemulihan yang sesuai dengan kondisi mereka sebagai perempuan, sekaligus dapat mendorong pemulihan bagi penyintas anak-anak. 

Referensi

Anak korban tsunami Aceh jadi korban trafficking (2014). Tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/12/141219_indonesia_korban_tsunami (Diakses 7 Februari 2021)

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Sulteng Meningkat 2 Kali Lipat (2021). Tersedia di https://kumparan.com/paluposo/kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-di-sulteng-meningkat-2-kali-lipat-1x1woueEC6Q/full (Diakses 25 Februari 2021)

LBH Anak : Masih ada 37 anak korban tsunami belum jelas (2014). Tersedia di https://www.merdeka.com/peristiwa/lbh-anak-masih-ada-37-anak-korban-tsunami-belum-jelas.html (Diakses 7 Februari 2021)

Milawaty. 2021. Potret Peran Pemerintah terhadap Perlindungan Anak: Studi Kasus Kekerasan Seksual pada Masa Tanggap Darurat Bencana Alam di Indonesia. Jurnal Administrasi Publik, 17(1), 117-150. 10.52316/jap.v17i1.65

Oxfam (2012) The Disaster Crunch Model: Guidelines for a Gendered Approach. Tersedia di https://oxfamilibrary.openrepository.com/bitstream/handle/10546/247511/the-disaster-crunch-model-010512-en.pdf?sequence=4 (Diakses 7 Februari 2021)

Pelecehan Seksual di Huntara Korban Gempa Palu, dari Cermin di Toilet hingga Rekam Video (2019). Tersedia di  https://regional.kompas.com/read/2019/09/26/13501931/pelecehan-seksual-di-huntara-korban-gempa-palu-dari-cermin-di-toilet-hingga?page=all (Diakses 25 Februari 2021)

Puluhan Staf WHO Diduga Terlibat Pelecehan Seksual Saat Tangani Ebola di Kongo (2021). Tersedia di https://www.dw.com/id/puluhan-staf-who-diduga-terlibat-pelecehan-seksual-di-kongo/a-59346301 (Diakses 7 Februari 2021)

True J. 2013. Gendered violence in natural disasters: learning from new Orleans, Haiti and Christchurch. Aotearoa New Zealand Social Work, 25(2), 78–89. 10.11157/anzswj-vol25iss2id83.

UNHCR. 2011. Age, Gender and Diversity Policy: Working with people and communities for equality and protection. Tersedia di https://www.unhcr.org/protection/women/5aa13c0c7/policy-age-gender-diversity-accountability-2018.html (Diakses 7 Februari 2021)

UNISDR. 2009. UNISDR Terminology on Disaster Risk Reduction. Tersedia di https://www.unisdr.org/files/7817_UNISDRTerminologyEnglish.pdf (Diakses 7 Februari 2021)

Prev Post
9 cara bantu akhiri kekerasan berbasis gender
Next Post
Persimpangan Identitas Sosial: Diskriminasi Berlapis dalam Kekerasan Berbasis Gender

Add Comment

Your email is safe with us.

Skip to content